Qualis Indonesia, 4 Oktober 2018- Kebutuhan untuk meningkatkan sinergi antara pemerintah, produsen, akademisi, dan Lembaga Penilaian Kesesuaian dalam memajukan standardisasi dan penilaian kesesuaian di bidang elektroteknika di Indonesia sudah tidak bisa ditunda-tunda lagi. Hal tersebut sejalan dengan yang disampaikan Bambang Prasetya selaku Ketua Komite Nasional International Electrotechnical Commission (Komnas IEC) Indonesia saat memimpin Rapat pada Kamis (4/10) di ruang seminar PT Qualis Indonesia, Jatiuwung, Tangerang.
Selama ini, yang paling aktif dalam proses perumusan standar elektroteknika ialah pihak pemerintah. SNI sektor elektroteknika yang ada sekarang pun masih standar-standar lama. “Untuk itu para pelaku industri pun perlu turut serta aktif dalam perumusan standar,” kata Bambang. Senada dengan yang dikatakan Calvin Satyanandi selaku General Manager Qualis Indonesia, menurutnya masa berlaku setelah standar sebuah produk diterapkan, khususnya di Indonesia itu terlalu lama. “Padahal idealnya penerapan standar itu ditinjau ulang setiap lima tahun sekali,” tuturnya. Hal ini berbeda dengan kondisi di negara-negara anggota IEC lainnya. Oleh karena itu pemerintah memang mendorong pihak industri agar lebih aktif mengusung standar-standar elektroteknika, baik di nasional maupun internasional.
Dalam Rapat Komnas IEC kali ini dihadiri oleh Kepala Pusat Perumusan Standar BSN, Hendro Kusumo, yang juga melaporkan hasil kajiannya dihadapan peserta rapat. Dalam laporan tersebut dikatakan bahwa Indonesia menjadi participant member (P-member) dalam 25 Technical Committee (TC/SC) di IEC. Di lingkup nasional, sudah ada 25 Komite Teknis Bidang Elektroteknika. Dari 1.251 standar internasional IEC, Indonesia telah mengadopsi 300 standar menjadi SNI.
Berdasarkan hasil laporan tersebut, maka bisa disimpulkan jika publikasi standar internasional IEC masih belum banyak diadopsi ke SNI, ini tak lain jumlah adopsi IEC ke SNI hanya sesuai kebutuhan Indonesia, khususnya untuk mendukung program regulasi teknis dari regulator. Di samping itu, SNI hasil adopsi standar internasional IEC dengan metode republikasi atau re-print dalam proses penterjemahan membutuhkan kompetensi bahasa teknis dan non-teknis. Ketika bahasa teknis diterjemahkan ke dalam bahasa popular maka perlu menyisihkan waktu yang tak sedikit, ungkap Hendro.
Selain masalah standar, yang harus menjadi perhatian bersama ialah minimnya lembaga sertifikasi dan laboratorium penguji produk elektrik dan elektronika di Indonesia yang telah mendapat assement sesuai dengan ketentuan The International Electrotechnical Commission for Electrictrical and Electronic (IECEE) CB Scheme.
Wahyu Purbowasito selaku Kepala Pusat Sistem Penerapan Standar BSN juga mengungkapkan bahwa saat ini baru ada 3 National Certification Body (NCB) dan 4 Certification Body for Testing Laboratory (CBTL). Antara lain ialah Sucofindo ICS dengan ruang lingkup hous dan inst, Pusat Pengujian Mutu Barang (PPMB) dengan ruang lingkup batt dan lite, serta Balai Sertifikasi Industri (BSI) dengan ruang lingkup hous, lite dan tron. Sedangkan untuk CBTL, yaitu Sucofindo Laboratory, Balai Pengujian Mutu Barang (BPMB), B4T dan Baristand Surabaya.
Minimnya ketersediaan NCB dan CBTL di Indonesia ini karena juga terkendala biaya yang memang tidak sedikit, itulah kenapa Balai Sertifikasi Industri mengundurkan diri dari lembaga yang mengurus hal-hal tersebut.
Untuk menangani masalah ini, terang Wahyu, dukungan pemerintah mutlak harus dilakukan untuk merevitalisasi NCB/CBTL Nasional secara fundamental, termasuk dari sisi infrastruktur maupun kompetensi SDM, yang tak lain untuk meningkatkan ketersediaan LPK sektor elektroteknika yang kredibel dan akuntabel. Selain itu juga perlu mendorong LPK yang telah terakreditasi Komite Akreditasi Nasional (KAN) untuk berpartisipasi sebagai CBTL dalam lingkup kategori Office and Equipment (OFF). Pihak KAN sendiri memandang bahwa hal tersebut harus memiliki 2 kriteria yang tak bisa ditawar. Pertama, harus investable. Kedua, harus profitable.
Selain persoalan standardisasi dan penilaian kesesuaian di atas, juga dibahas beberapa agenda antara lain laporan kegiatan Komnas IEC dan informasi IEC GM 2018 dan IEC Young Professional Program yang akan diselenggarakan di Busan, Korea Selatan. Tak lupa para peserta rapat juga melakukan keliling laboratorium Qualis Indonesia yang dikenal sebagai laboratorium independen dengan memiliki alat uji yang tergolong lengkap di Indonesia.
Rapat Komnas IEC 2018 kali ini dihadiri oleh berbagai instansi, antara lain perwakilan BSN, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Perindustrian, Kementerian Komunikasi dan Informatika, PT Sucofindo, PT Qualis Indonesia, Siemens Indonesia, Asosiasi Kelistrikan dan lain-lain.
PT Qualis sendiri merupakan LPK yang telah diakreditasi KAN dan telah memenuhi persyaratan dalam SNI ISO/IEC 17025 Sistem Manajemen Laboratorium dan SNI ISO/IEC 17065 Penilai Kesesuaian - Persyaratan untuk Lembaga Sertifikasi Produk, Proses & Jasa. Ruang lingkup PT Qualis antara lain pengujian dan sertifikasi aksesoris kelistrikan, kabel, pangan, tekstil, mainan anak, serat optik, mikrobiologi, AUVI, LED & luminer, alat rumah tangga, transportasi, EMC, kosmetik, dan kalibrasi. (Gilang Pradana)